
CENTRALNEWS.ID, KUANTAN SINGINGI – Gugatan praperadilan yang diajukan RS melalui kuasa hukumnya terhadap Polres Kuantan Singingi (Kuansing), Polda Riau, atas penetapan tersangka dalam perkara yang melibatkan anak, kini menjadi perhatian publik dan kalangan akademisi hukum.
Sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pengadilan Teluk Kuantan, Provinsi Riau, Kamis (18/12/2025), pada agenda jawaban termohon dan pembuktian, mengungkap sejumlah fakta hukum yang dinilai krusial.
RS diwakili penasihat hukumnya, Yayan Setiawan, S.H., M.H. dari Kantor Hukum ANZY & Partners, sementara pihak termohon hadir melalui kuasa hukum yang surat kuasanya diberikan melalui Kasat Reskrim Polres Kuansing.
Menurut Yayan, secara administratif kehadiran termohon patut dipersoalkan. Ia menegaskan, berdasarkan aturan internal Polri, surat kuasa seharusnya diberikan langsung oleh Kapolres selaku pimpinan organisasi, bukan didelegasikan tanpa dasar mandat yang jelas.
“Hal ini berpotensi menjadi cacat formil karena Kapolres adalah representasi hukum dari institusi Polres dalam perkara praperadilan,” ujar Yayan di persidangan.
SPDP Diakui Terlambat Diserahkan
Dalam jawaban termohon, Polres Kuansing mengakui bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diserahkan pada 24 Oktober 2025, sebagaimana bukti ekspedisi yang diajukan.
Pengakuan ini, menurut Yayan, justru memperkuat dalil permohonan praperadilan. Ia menilai tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, serta Perkap Polri Nomor 6 Tahun 2019, yang mewajibkan SPDP disampaikan paling lambat tujuh hari setelah sprindik diterbitkan.
“Ini adalah pelanggaran nyata terhadap asas due process of law. Keterlambatan SPDP berdampak pada tidak sahnya seluruh tindakan penyidikan berikutnya,” tegas Yayan.
Hasil Visum dan Psikologi Tak Temukan Kekerasan
Fakta lain yang mencuat dalam pemeriksaan alat bukti adalah hasil Visum et Repertum (VeR) yang menyatakan tidak ditemukan kelainan pada pipi kiri dan kanan korban.
Sementara itu, hasil pemeriksaan psikologis menyimpulkan kondisi mental anak dalam keadaan baik, mampu beraktivitas normal, serta tidak ditemukan trauma psikologis.
Padahal, Pasal 1 angka 15 a Undang-Undang Perlindungan Anak secara tegas menyebutkan bahwa unsur kekerasan harus menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik, psikis, atau bentuk kesengsaraan lainnya.
“Ini menjadi tanda tanya besar, atas dasar apa klien kami ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Yayan.
Penetapan Tersangka Prematur
Menanggapi perkara tersebut, Assoc. Prof. Dr. Alwan Hadiyanto, S.H., M.H., C.Med., C.CL., Akademisi dan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Batam, memberikan pandangan akademis yang tegas.
Menurut Alwan, terdapat dua persoalan mendasar dalam perkara ini, yakni cacat prosedur dan cacat substansi.
Pertama, dari aspek prosedural, keterlambatan penyerahan SPDP merupakan pelanggaran serius terhadap Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 yang bersifat mengikat secara umum (erga omnes).
Kedua, dari sisi substansi, alat bukti yang digunakan justru bersifat ekskulpatoris, atau meniadakan unsur tindak pidana.
“Hasil visum menyatakan tidak ada kelainan fisik, dan pemeriksaan psikologis tidak menemukan trauma. Artinya, unsur akibat dalam delik materiil Pasal 1 angka 15 a UU Perlindungan Anak tidak terpenuhi,” jelas Alwan.
Ia menambahkan, merujuk pada Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, penetapan tersangka wajib didukung minimal dua alat bukti yang sah.
Jika alat bukti utama justru menegasikan adanya tindak pidana, maka penetapan tersangka dapat dinilai prematur dan tidak sah.
“Memaksakan status tersangka dalam kondisi seperti ini berpotensi menjadi bentuk penyalahgunaan kewenangan dan mencederai asas kepastian hukum,” tegasnya.(ned)



