18.3 C
New York
Sabtu, Oktober 5, 2024

Menteri Harusnya Sensitif pada Buruh, Jokowi Minta Revisi Permenaker 2/2022

CENTRALNEWS.ID, JAKARTA – Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan setelah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pencairan Dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang mendapat penolakan para buruh.

Jokowi meminta Menteri Ida Fauziah untuk merevisi Permenaker tersebut dengan memperhatikan kondisi saat ini.

Seperti diketahui, Permenaker No.2 tahun 2022 yang sejatinya berlaku mulai 1 Mei 2022 menyebutkan bahwa JHT hanya bisa dicairkan saat buruh berusia 56 tahun.

Sementara bagi buruh yang PHK atau berhenti sebelum tahun itu, disiapkan dana jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Presiden memanggil Menko Perekonomian Airlangga Hartato dan Menteri Tenaga kerja Ida Fauziah ke Istana Merdeka.

Jokowi menginstruksikan agar aturan itu direvisi. Presiden memberikan arahan agar JHT bisa membantu pekerja/buruh yang terdampak, khususnya yang ter-PHK di masa pandemi ini.

“Bapak Presiden sangat memperhatikan nasib para pekerja/buruh, dan meminta kita semua untuk memitigasi serta membantu teman-teman pekerja/buruh yang terdampak pandemi ini,” Menteri Ida Fauziah seusai pertemuan.

Turun tangannya Jokowi disambut oleh banyak pihak. Namun, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengingatkan agar dalam revisi nanti, Menteri Ida harus merasakan resonanssi batin buruh.
Sehingga, revisi tersebut tidak hanya dimaknai masalah teknis dari aturan perundang-undangan.

Baca Juga :  Melalui Program Nutrition Fact Rumah BUMN Telkom, 352 UMKM Binaan Tingkatkan Daya Saing Produk

“Narasi yang dibangun Menaker bahwa sudah ada alternatif pengganti JHT, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), itu sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat,” tutur Robert.

“Pemerintah, bagaimanapun, harus berpijak dan merasakan batin buruh bahwa JHT itu adalah hak mereka, bukan milik pemerintah,” katanya.

Ombudsman memahami bahwa landasan yuridis dan filosofi Permanaker tersebut relatif kuat dan ideal.
Namun, dari sisi sosiologis kehidupan pekerja, hal itu tidak baik. Ombudsman juga menilai bahwa pemerintah kurang memahami konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara menyeluruh.

Sehingga terkesan hanya kebijakan teknis dan taktis semata.

“Padahal, SJSN itu substansinya adalah untuk mempermudah masyarakat mendapatkan jaminan hidup dari negara,” katanya.

Mal-administrasi

JKP sebagai bantalan JHT tidak dapat disebut inklusif karena cakupannya terbatas pada pekerja formal serta JKP hanya untuk tiga bulan saja.

Baca Juga :  Melalui Program Nutrition Fact Rumah BUMN Telkom, 352 UMKM Binaan Tingkatkan Daya Saing Produk

Sementara ada pekerja yang menjadi korban PHK bertahun-tahun sebelum bisa mencairkan JHT.

“Bagaimana dengan pekerja informal, bagaimana dengan pekerja yang habis masa kontrak, mengundurkan diri dan ingin berwirausaha? Belum lagi kalau kita bicara soal prosedur administrasi klaim (JKP) paling lambat tiga bulan sesudah PHK, kalau tidak akan hangus. Ini kan tidak tepat,” urai Robert.

Ombudsman menilai terjadinya potensi maladministrasi dalam penyusunan Permenaker 2 tahun 2022 tersebut karena tidak berdasarkan kepatutan dan prosedur wajib.

Proses penyusunan kebijakan harusnya melibatkan pekerja sebagai pihak paling terdampak dari pemberlakuan aturan ini.

“Partipasi para pihak itu berintikan tiga hak prosedural. Pertama. undang dan dengar (right to be heard). Kemudian hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan; hak untuk memperoleh jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” terang Robert.

Robert melihat komunikasi yang dibangun Kemenaker dengan pekerja/buruh tidak menunjukkan pentingnya partisipasi tersebut.

Baca Juga :  Melalui Program Nutrition Fact Rumah BUMN Telkom, 352 UMKM Binaan Tingkatkan Daya Saing Produk

“Pertemuan itu masih sebatas formalitas dan terbatas cakupannya,” sambung dia.

Sementara pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono mengusulkan agar pekerja bisa mengambil dana JHT sebelum berusia 56 tahun.

Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 37 Ayat (3) Undang-Undang SJSN.

“Instruksi yang penting itu untuk diatur adalah penyederhanakan pengambilan JHT, pesangon atau tabungan pekerja,” katanya.

Aloysius mengingatkan Menaker bahwa antara JHT dan JKP itu berbeda. JHT adalah tabungan pekerja sementara JKP dana pemerintah.

“Jadi, kedua hal tersebut berbeda, sehingga tidak bisa dicampur aduk begitu. Aturan terkait JHT harus dipisah dengan JKP karena nggak ada sangkut pautnya,” kata Aloysius.

Aloysius juga mengkritik cara pembuatan kebijakan yang tidak matang dari Kemenaker. Mestinya, aturan itu sejak awal mempertimbangkan kemungkinan terjadinya polemik di tengah publik.

“Pemerintah harus mempertimbangkan plus minus setiap aturan termasuk dampaknya. Makanya perlu dimintai pendapat pihak yang terdampak sebelum aturan itu disusun. Bukan justru direvisi setelah di-introduce,” katanya. (Central Network)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

22,921FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Latest Articles