CENTRALNEWS.ID, JAKARTA – Survei Kementerian Perhubungan menyebutkan akan ada 23 juta mobil dan 17 juta sepeda motor yang akan digunakan oleh pemudik.
Menurut Presiden Joko Widodo(Jokowi), angka tersebut terhitung sangat besar. Sehingga diperkirakan akan
terjadi kemacetan parah.
“Oleh karena itu saya mengajak masyarakat untuk menghindari puncak arus mudik tanggal 28,29 dan 30 April 2022,” ujarnya pada konferensi pers virtual, Senin (18/4/2022).
Dalam mengantisipasi itu, pemerintah telah menyiapkan rekayasa lalu lintas melalui aturan ganjil genap. Selain itu juga akan ada pemberlakuan satu arah atau one way hingga larangan truk masuk jalan tol.
“Untuk itu, saya mengajak masyarakat untuk mudik lebih awal. Tentu saja menyesuaikan dengan jadwal libur dari tempat bekerja,” kata Jokowi.
Ia pun mengimbau pada masyarakat untuk jangan lupa mematuhi protokol kesehatan. Utamanya memakai masker, cuci tangan dan menjaga jarak.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah telah memberikan libur cuti massal bagi ASN dan masyarakat.
Airlangga pun menyebutkan, cuti massal ini dapat dimanfaatkan untuk masyarakat untuk mudik Lebaran.
Ia pun memperkirakan, ada sekitar 80 juta masyarakat akan mudik pada Idul Fitri 1443 H.
“Berdasarkan survei yang dilakukan, yang akan mudik lebih dari 80 juta orang,” kata Airlangga.
Ketua Umum Partai Golkar ini juga menyebutkan, ada sekitar 14 juta warga Jabodetabek akan mudik. Tujuan mudik masyarakat, kata Airlangga, adalah wilayah Jawa Tengah (Jateng).
Sehingga, Airlangga memprediksi akan terjadi kemacetan yang luar biasa di arus mudik tahun 2022 ini.
“Dari Jabodetabek saja 14 juta dan tujuan mudik yang pertama adalah Jawa Tengah. Jadi kira-kira kita paham apa yang terjadi dan kemacetan akan jadi hal yang luar biasa,” jelas Airlangga.
Sementara itu, Ahli Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menilai potensi peningkatan kasus pascamudik tentu tetap ada.
“Karena bagaimanapun pun kita masih memiliki populasi yang rawan dan belum memiliki imunitas. Dan jumlah nya itu kurang lebih 20 persen,” papar Dicky.
Populasi yang rawan baik pada mereka belum bisa divaksin, dan tidak ingin divaksin. Termasuk juga pada kelompok yang mengalami penurunan efektifitas dari imunitas.
Baik setelah terinfeksi dan divaksinasi Covid-19. Dengan jumlah proporsi 20 persen ini kata Dicky tentu bukan jumlah yang kecil.
Apalagi jika merujuk pada jumlah populasi Indonesia yang mendekati hingga 300 juta. Jumlah 20 persen ini mungkin sudah melebihi populasi Singapura, Kamboja, atau beberapa negara kecil di ASEAN.
“Ini tentu juga membawa kerawanan sendiri,” kata Dicky.
Khususnya yang bukan daerah aglomerasi ada potensi, sehingga harus memiliki mitigasi. Tidak hanya mitigasi saat mendekati mudik atau arus balik saja.
Sebelum dicapai 90 persen penduduk terproteksi minimal dua dosis minimal dan 50 persen untuk
dosis ketiga, maka upaya mitigasi menjadi penting.
“Karena menginjak tahun ketiga, kelompok rawan 20 persen mengerucut ke kelompok yang benar-benar rawan. Mereka bisa saja orang lanjut usia, komorbid, termasuk anak-anak bawah lima tahun,” tegas
Dicky.
Kelompok ini, ketika masyarakat umum abai dan terpapar, mereka bisa berkontribusi pada beban fasilitas kesehatan maupun dalam bentuk fatalitas. Ini yang terjadi dalam level global.(Central Network/dkh/mzi/put)