CENTRALNEWS.ID, BATAM — Penahanan emas perhiasan seberat 2,5 kilogram oleh pihak Bea dan Cukai Batam pada 22 September 2025 memicu perdebatan hukum.
Kuasa hukum dari pemilik emas menilai, tindakan aparat seharusnya mengedepankan penyelesaian administratif, mengingat Batam merupakan wilayah Free Trade Zone (FTZ) dengan status hukum khusus.
Pernyataan ini disampaikan oleh tim hukum dari Law Firm Harmoni Legal & Business Solutions, yang terdiri dari Toto Sumito, SSi., SH., MH., CLA., CPM dan Rinaldi Samjaya, SE., SH., MM., CPM.
Keduanya mewakili MJ, warga Sumenep, Jawa Timur, yang diklaim sebagai pemilik sah emas perhiasan tersebut.
Menurut Toto, emas yang dibawa oleh kliennya dari Malaysia ke Batam bukanlah barang terlarang, melainkan perhiasan yang dibeli secara legal dengan bukti kwitansi resmi dari toko emas.
Karena Batam adalah kawasan perdagangan bebas, maka menurutnya, penanganan kasus ini seharusnya mengacu pada mekanisme administratif, bukan proses pidana.
Ini bukan kasus narkoba, TPPU, atau ilegal fishing. Kalau pun ada kesalahan dalam administrasi, harusnya diselesaikan sesuai prosedur administratif terlebih dahulu, bukan langsung ke jalur pidana,”* tegas Toto.
Toto juga menekankan pentingnya penerapan asas Ultimum Remedium, yakni prinsip hukum yang menyatakan bahwa sanksi pidana merupakan jalan terakhir setelah upaya administratif dilakukan.
Prinsip ini, kata dia, juga tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Kepabeanan.
“Penegakan hukum seharusnya dilakukan secara proporsional, bukan represif. Apalagi Batam memiliki status sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas, yang tunduk pada aturan khusus,” ujarnya.
Ia menilai penerapan Pasal 102 huruf e UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan terhadap kliennya tidak relevan, karena Batam telah diatur secara khusus melalui beberapa regulasi seperti:
- UU No. 39 Tahun 2009** tentang Kawasan Ekonomi Khusus,
- PP No. 46 Tahun 2007** tentang KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas),
- PP No. 25 Tahun 2025** tentang Penyelenggaraan KPBPB.
Toto menegaskan, sesuai prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali, aturan khusus seperti FTZ Batam seharusnya menjadi acuan utama dibandingkan undang-undang umum.
Tim kuasa hukum juga menyoroti dampak sosial dari penahanan EA (32), pria yang membawa emas tersebut ke Batam. Rinaldi menjelaskan bahwa EA merupakan tulang punggung keluarga dengan empat anak kecil, sehingga penahanan ini menimbulkan beban sosial dan ekonomi yang berat.
“Kami berharap penegak hukum dapat mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan tidak mengabaikan fakta bahwa EA hanya sebagai kurir dengan upah kecil,” tambah Rinaldi.
Pihaknya telah mengajukan permohonan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada Kepala Bea dan Cukai Batam serta meminta agar emas perhiasan itu dikembalikan kepada pemiliknya.
Kuasa hukum juga menegaskan bahwa klien mereka siap memenuhi segala kewajiban administratif sesuai aturan yang berlaku.
Di sisi lain, Kepala Kantor Bea dan Cukai Tipe B Batam, Zaky Firmansyah, menyatakan bahwa pihaknya telah berhasil menggagalkan upaya penyelundupan emas seberat 2,5 kilogram yang ditaksir bernilai Rp4,8 miliar.
Menurut Zaky, emas tersebut ditemukan tersembunyi dalam tiga bungkus yang dibalut di tubuh EA menggunakan korset, saat pemeriksaan di Pelabuhan Ferry Internasional Batam Center.
“EA mengaku disuruh oleh MJ, seorang pekerja di Malaysia, dengan imbalan Rp3 juta. Namun karena barang tersebut tidak dilaporkan dan disembunyikan, maka ini dikategorikan sebagai pelanggaran kepabeanan,” jelas Zaky.
Zaky menambahkan, tindakan EA melanggar Pasal 102 huruf e UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan karena mencoba menghindari pemeriksaan dan tidak memenuhi kewajiban pelaporan barang.(mzi)

